Kamis, 26 April 2012

Sifat Melawan Hukum













Sifat Melawan Hukum dibagi menjadi dua ajaran, yaitu :

1)      Ajaran SMH yang Formil 
a)  Konsepsi pertama adalah perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut di ancam pidana karena memenuhi unsur rumusan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, dalam ajaran ini, yang dimaksud dengan sifat melwan hukum adalah melawan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis).
Contoh : Seseorang dapat di jerat dengan pasal 362 KUHP (WvS) tentang pencurian karena telah di atur pemberlakuan pasal atau peraturan tersebut dalam pasal 1 ayat (1) KUHP (WvS) yaitu “Tiada suatau perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Hal ini berarti siapapun yang memenuhi unsur pasal 362 yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah” dapat di pidana, tanpa menghiraukan alasan, situasi dan kondisi pelaku ketika makukan perbuatan tersebut.
b)  Konsepsi kedua adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut hanya dapat dihapuskan dengan suatu ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, alasan pembenaran hanya boleh diambil dari peraturan perundang-undangan (hukum tertulis).
    Contoh : Dalam pembelaan, pidana yang diterima pelaku perbuatan melawan hukum dapat berkurang atau dihapuskan jika memenuhi alasan pembenaran yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah seperti yang diatur dalam BAB III, Pasal 44 sampai dengan Pasal 51 KUHP (WvS). Alasan pembenaran di luar itu tidak diakui kekuatannya.  


2)      Ajaran SMH yang Materiil

a)      Fungsi pertama adalah fungsi positif, yaitu perbuatan tetap dikatakan bersifat melawan hukum dan tetap dianggap sebagai suatu delik, meski perbuatan tersebut tidak nyata diancam pidana dengan peraturan perundang-undangan, apabila bertentangan dengan hukum atau aturan-aturan lain yang berada di luar undang-undang (hokum tidak tertulis). Dengan kata lain, dalam fungsi ini, hukum tidak tertulis dipositifkan, diakui kekuatan hukumnya. Fungsi positif sifat melawan hukum materiil ini tidak berlaku di Indonesia.
Contoh : Peristiwa adat carok di Madura, yang merupakan jalan terakhir penyelesaian konflik antar warga Madura dengan cara bertarung saling membunuh dengan menggunakan alat sabit, dianggap sebagai perbuatan yang wajar dilakukan untuk di lingkungan masyarakat Madura. Peristiwa ini pasti akan membawa kematian bagi salah satu pihak yang bersengketa, meski perbuatan membunuh dibenarkan oleh masyarakat setempat, namun orang yang melakukan pembunuhan tersebut tetap dapat dijerat dengan pasal 338 KUHP (WvS). Dilain sisi, hukum carok yang berlaku di masyarakat tersebut hanya dapat sebagai alas an pembenaran untuk mendapatkan keringanan. 
b)    Fungsi kedua adalah fungsi negatif, yaitu perbuatan yang masuk dalam sifat melawan hukum dimungkinkan dapat dihapuskan dengan alasan pembenaran yang diambil dari hal-hal yang ada diluar peraturan perundang-undangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa, alasan pembenaran tidak hanya dapat didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saja (hukum tertulis), namun dapat juga dari azas-azas hukum yang berlaku dalam masyarakat setempat (hukum tidak tertulis). Fungsi negatif sifat melawan hukum materiil ini berlaku di Indonesia, namun implementasinya kurang diperhatikan oleh para penegak hukum.
    Contoh : Kasus pencurian nasi bungkus seharga Rp 1.500,- oleh seorang ibu yang karena keadaan terpaksa melakukan perbuatan tersebut dengan alasan anaknya sudah tidak makan dalam 3 hari dan anaknya itu sedang sakit. Perbuatan ibu tersebut secara formil memenuhi unsur pasal 362 KUHP (WvS) tantang pencurian, namun ibu tersebut dapat dibebaskan dari jeratan pasal tersebut karena adanya alasan pembenaran dari hukum yang tidak tertulis yang bersifat materiil. Karena dalam situasi dan kondisi tersebut, jika ibu tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum, dapat berakibat hilangnya nyawa anak dari ibu tersebut. Yang berhak menentukan alasan pembenaran diluar peraturan perundang-undangan adalah Hakim, namun aparat penegak hukum lainnya juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan adanya fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil ini. (wepe2113)

Daftar Pustaka :
     Soedarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto FH Undip.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar