Jumat, 13 April 2012

Penambangan Pasir yang Tidak Sesuai dengan Standar Keamanan Lingkungan


Di daerah sekitar sungai, sering terjadi ketegangan antara pihak warga, penambang pasir, serta pihak kepolisian di daerah penambangan setempat. Hal ini dipicu oleh ulah penambang pasir yang melakukan penambangan dengan menggunakan mesin penyedot yang dapat merusak lingkungan sekitar.
Longsor di Sungai Brantas - Mojokerto : Wahyu Purnomo
Banyak dampak yang diakibatkan dari penambangan pasir yang tidak memenuhi standar keamanan ini. Tidak hanya dampak secara fisik yaitu merusak lingkungan sekitar  aliran sungai. Tetapi juga dapat menimbulkan dampak sosial yang besar, diantaranya adalah dapat menimbulkan keresahan dan kekhawatiran warga sekitar akan terjadinya bencana longsor, dan hal ini yang sering mengakibatkan bentrok fisik antara warga dan para penambang pasir. Selain itu, penggunaan mesin dalam penambangan pasir juga mengakibatkan pengangguran, karena tenaga para buruh penambang sudah digantikan oleh mesin yang dapat menghasilkan kuantitas lebih banyak.
Selama ini ketika kita lihat dengan seksama, pengamanan dan pengawasan yang dilakukan oleh pihak polisi setempat dapat dinilai kurang maksimal. Pasalnya, sering terjadi suap yang dilakukan oleh pihak penambang kepada para oknum kepolisian, agar mendapatkan ijin atas penambangan pasir tersebut, tanpa melihat standar keamanan operasionalnya.
Tidak dapat disalahkan, ketika diadakan diskusi untuk mencari jalan tengah, sulit didapatkan hasil yang memuaskan. Ujung-ujungnya malah terjadi ketegangan yang semakin memuncak di kedua pihak. Si penambang mempertahankan argumennya yang mengklaim bahwa mereka sudah mendapat legalitas dari pihak kepolisian. Di lain pihak, warga masyarakat bersikukuh menghentikan penambangan tersebut dengan alasan tidak mau lingkungannya dirusak, mereka tidak memerdulikan ada atau tidaknya ijin penambangan. Disini peran polisi sebagai pengayom masyarakat terkesan lelet, entah apa sebabnya, yang pasti gerak polisi relatif lambat dalam penanganan kasus ini.
Yang lebih memrihatinkan lagi adalah ketika pihak kepolisian dimintai pertanggung jawaban atas kasus tersebut, mereka terkesan cuci tangan, seakan-akan tidak tahu menahu tentang hal tersebut. Inilah yang membuat warga sekitar semakin geram, dan melakukan perusakan terhadap alat-alat penambangan.
Ketika warga masyarakat semakin menuntut akan keadilan, akhirnya pihak kepolisian turun tangan, tetapi menurut saya juga kurang tepat dalam penanganannya. Karena sering kita lihat diberita, pihak polisi juga melakukan perusakan dengan menembaki alat-alat penambangan pasir. Ini bukan merupakan penyelesaian, tetapi justru akan dapat menimbulkan permasalahan sosial baru. Ketika terjadi efek jerah yang tidak konstruktif dan terkeasan keadaan yang tidak kondusif tersebut, akan menimbulkan penutupan oleh pihak pemilik tambang dan pada akhirnya berdampak pada warga sekitar yang kehilangan mata pencahariannya sebagai buruh penambangan pasir di tempat tersebut.
Hal ini dapat diselesaikan jika kedua belah pihak, mau duduk bersama, dengan difasilitatori oleh pihak kepolisian untuk mencari solusi. Tanpa adanya kekerasan dan mengutamakan kebersamaan menjadi kunci utama dalam penyelesaian tersebut. Polisi harus mampu menjalankan tugasnya menjadi pengayom masyarakat, melayani pengaduan masyarakat dengan cepat tanggap, serta melakukan pengawasan atas keamanan lingkungan sekitar. Para pemuda juga dituntut peran aktifnya sebagai wakil dari aspirasi masyarakat, seyogyanya tidak mengutamakan emosi dan jalan kekerasan tetapi memberikan terobosan pemikiran yang lebih membangun. Untuk para pemilik tambang, harus selalu mempunyai pemikiran kedepan, tidak hanya mencari keuntungan semata, tetapi lingkungan harus tetap terjaga. Hal itu juga demi kelanjutan usaha, karena jika lingkungan tetap terjaga, maka tidak akan habis SDA yg telah di ambil dan pada akhirnya tidak berdampak pada terjadinya pengangguran akibat ditutupnya lapangan pekerjaan yang telah ada. (wepe2113)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar