Di daerah sekitar
sungai, sering terjadi ketegangan antara pihak warga, penambang pasir, serta
pihak kepolisian di daerah penambangan setempat. Hal ini dipicu oleh ulah
penambang pasir yang melakukan penambangan dengan menggunakan mesin penyedot
yang dapat merusak lingkungan sekitar.
Longsor di Sungai Brantas - Mojokerto : Wahyu Purnomo |
Banyak dampak yang
diakibatkan dari penambangan pasir yang tidak memenuhi standar keamanan ini.
Tidak hanya dampak secara fisik yaitu merusak lingkungan sekitar aliran sungai. Tetapi juga dapat menimbulkan
dampak sosial yang besar, diantaranya adalah dapat menimbulkan keresahan dan
kekhawatiran warga sekitar akan terjadinya bencana longsor, dan hal ini yang
sering mengakibatkan bentrok fisik antara warga dan para penambang pasir.
Selain itu, penggunaan mesin dalam penambangan pasir juga mengakibatkan
pengangguran, karena tenaga para buruh penambang sudah digantikan oleh mesin
yang dapat menghasilkan kuantitas lebih banyak.
Selama ini ketika kita
lihat dengan seksama, pengamanan dan pengawasan yang dilakukan oleh pihak
polisi setempat dapat dinilai kurang maksimal. Pasalnya, sering terjadi suap
yang dilakukan oleh pihak penambang kepada para oknum kepolisian, agar
mendapatkan ijin atas penambangan pasir tersebut, tanpa melihat standar
keamanan operasionalnya.
Tidak dapat disalahkan,
ketika diadakan diskusi untuk mencari jalan tengah, sulit didapatkan hasil yang
memuaskan. Ujung-ujungnya malah terjadi ketegangan yang semakin memuncak di
kedua pihak. Si penambang mempertahankan argumennya yang mengklaim bahwa mereka
sudah mendapat legalitas dari pihak kepolisian. Di lain pihak, warga masyarakat
bersikukuh menghentikan penambangan tersebut dengan alasan tidak mau
lingkungannya dirusak, mereka tidak memerdulikan ada atau tidaknya ijin
penambangan. Disini peran polisi sebagai pengayom masyarakat terkesan lelet,
entah apa sebabnya, yang pasti gerak polisi relatif lambat dalam penanganan
kasus ini.
Yang lebih
memrihatinkan lagi adalah ketika pihak kepolisian dimintai pertanggung jawaban
atas kasus tersebut, mereka terkesan cuci tangan, seakan-akan tidak tahu menahu
tentang hal tersebut. Inilah yang membuat warga sekitar semakin geram, dan
melakukan perusakan terhadap alat-alat penambangan.
Ketika warga masyarakat
semakin menuntut akan keadilan, akhirnya pihak kepolisian turun tangan, tetapi
menurut saya juga kurang tepat dalam penanganannya. Karena sering kita lihat
diberita, pihak polisi juga melakukan perusakan dengan menembaki alat-alat
penambangan pasir. Ini bukan merupakan penyelesaian, tetapi justru akan dapat
menimbulkan permasalahan sosial baru. Ketika terjadi efek jerah yang tidak
konstruktif dan terkeasan keadaan yang tidak kondusif tersebut, akan
menimbulkan penutupan oleh pihak pemilik tambang dan pada akhirnya berdampak pada
warga sekitar yang kehilangan mata pencahariannya sebagai buruh penambangan pasir
di tempat tersebut.
Hal ini dapat
diselesaikan jika kedua belah pihak, mau duduk bersama, dengan difasilitatori
oleh pihak kepolisian untuk mencari solusi. Tanpa adanya kekerasan dan
mengutamakan kebersamaan menjadi kunci utama dalam penyelesaian tersebut.
Polisi harus mampu menjalankan tugasnya menjadi pengayom masyarakat, melayani
pengaduan masyarakat dengan cepat tanggap, serta melakukan pengawasan atas
keamanan lingkungan sekitar. Para pemuda juga dituntut peran aktifnya sebagai
wakil dari aspirasi masyarakat, seyogyanya tidak mengutamakan emosi dan jalan
kekerasan tetapi memberikan terobosan pemikiran yang lebih membangun. Untuk
para pemilik tambang, harus selalu mempunyai pemikiran kedepan, tidak hanya
mencari keuntungan semata, tetapi lingkungan harus tetap terjaga. Hal itu juga
demi kelanjutan usaha, karena jika lingkungan tetap terjaga, maka tidak akan
habis SDA yg telah di ambil dan pada akhirnya tidak berdampak pada terjadinya
pengangguran akibat ditutupnya lapangan pekerjaan yang telah ada. (wepe2113)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar