Sifat Melawan Hukum
dibagi menjadi dua ajaran, yaitu :
1)
Ajaran SMH yang Formil
a) Konsepsi
pertama adalah perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan
tersebut di ancam pidana karena memenuhi unsur rumusan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dengan kata lain, dalam ajaran ini, yang dimaksud dengan sifat
melwan hukum adalah melawan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis).
Contoh : Seseorang dapat di jerat dengan
pasal 362 KUHP (WvS) tentang pencurian karena telah di atur pemberlakuan pasal
atau peraturan tersebut dalam pasal 1 ayat (1) KUHP (WvS) yaitu “Tiada suatau
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Hal ini berarti
siapapun yang memenuhi unsur pasal 362 yang berbunyi “Barang siapa mengambil
barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan
ratus rupiah” dapat di pidana, tanpa menghiraukan alasan, situasi dan kondisi
pelaku ketika makukan perbuatan tersebut.
b) Konsepsi
kedua adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut hanya dapat dihapuskan
dengan suatu ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, alasan
pembenaran hanya boleh diambil dari peraturan perundang-undangan (hukum
tertulis).
Contoh : Dalam
pembelaan, pidana yang diterima pelaku perbuatan melawan hukum dapat berkurang
atau dihapuskan jika memenuhi alasan pembenaran yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini adalah seperti yang diatur dalam BAB III,
Pasal 44 sampai dengan Pasal 51 KUHP (WvS). Alasan pembenaran di luar itu tidak
diakui kekuatannya.
2)
Ajaran SMH yang Materiil
a) Fungsi
pertama adalah fungsi positif, yaitu perbuatan tetap dikatakan bersifat melawan
hukum dan tetap dianggap sebagai suatu delik, meski perbuatan tersebut tidak
nyata diancam pidana dengan peraturan perundang-undangan, apabila bertentangan
dengan hukum atau aturan-aturan lain yang berada di luar undang-undang (hokum
tidak tertulis). Dengan kata lain, dalam fungsi ini, hukum tidak tertulis
dipositifkan, diakui kekuatan hukumnya. Fungsi positif sifat melawan hukum
materiil ini tidak berlaku di Indonesia.
Contoh : Peristiwa adat carok di Madura,
yang merupakan jalan terakhir penyelesaian konflik antar warga Madura dengan
cara bertarung saling membunuh dengan menggunakan alat sabit, dianggap sebagai
perbuatan yang wajar dilakukan untuk di lingkungan masyarakat Madura. Peristiwa
ini pasti akan membawa kematian bagi salah satu pihak yang bersengketa, meski
perbuatan membunuh dibenarkan oleh masyarakat setempat, namun orang yang
melakukan pembunuhan tersebut tetap dapat dijerat dengan pasal 338 KUHP (WvS).
Dilain sisi, hukum carok yang berlaku di masyarakat tersebut hanya dapat
sebagai alas an pembenaran untuk mendapatkan keringanan.
b) Fungsi
kedua adalah fungsi negatif, yaitu perbuatan yang masuk dalam sifat melawan
hukum dimungkinkan dapat dihapuskan dengan alasan pembenaran yang diambil dari hal-hal
yang ada diluar peraturan perundang-undangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa,
alasan pembenaran tidak hanya dapat didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku saja (hukum tertulis), namun dapat juga dari azas-azas
hukum yang berlaku dalam masyarakat setempat (hukum tidak tertulis). Fungsi negatif
sifat melawan hukum materiil ini berlaku di Indonesia, namun implementasinya
kurang diperhatikan oleh para penegak hukum.
Contoh : Kasus
pencurian nasi bungkus seharga Rp 1.500,- oleh seorang ibu yang karena keadaan
terpaksa melakukan perbuatan tersebut dengan alasan anaknya sudah tidak makan
dalam 3 hari dan anaknya itu sedang sakit. Perbuatan ibu tersebut secara formil
memenuhi unsur pasal 362 KUHP (WvS) tantang pencurian, namun ibu tersebut dapat
dibebaskan dari jeratan pasal tersebut karena adanya alasan pembenaran dari
hukum yang tidak tertulis yang bersifat materiil. Karena dalam situasi dan
kondisi tersebut, jika ibu tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum,
dapat berakibat hilangnya nyawa anak dari ibu tersebut. Yang berhak menentukan
alasan pembenaran diluar peraturan perundang-undangan adalah Hakim, namun
aparat penegak hukum lainnya juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan
adanya fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil ini. (wepe2113)
Daftar Pustaka :
Soedarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto FH Undip.